Essay: Hujan Membawa Rindu


 Essay :


Hujan Membawa Rindu

Oleh: Muhammad Anshar Akil

 

Ahad pagi, pekan ketiga Desember. Hujan turun dengan deras. Butir butir air dari atmosfir tumpah ke bumi, dengan suara gemuruh, pertanda kandungan air di awan begitu banyak dan tidak tahan lagi untuk turun ke bumi, menyatu dengan sungai, laut, bertemu dengan manusia dan makhluk bumi. Hujan membasahi tanah, sawah, tanaman, hewan, sungai, rumah, mobil, orang-orang yang hilir mudik...

Saya membuka gorden, kaca buram penuh tetesan air, melihat ke arah langit. Nampak awan di atas sana menggantung, bersusun-susun, gelap sepanjang pandangan. Awan sibuk melepaskan titik-titik air yang sudah berat, yang dikandungnya melalui kondensasi, dan butir air memadat tidak tertahankan lagi untuk dialirkan kembali ke bumi.

Awan hanyalah ibu sementara yang mengandung partikel hujan, ibu yang sebenarnya adalah sungai, laut, yang telah mengirimkan butiran-butiran uap air ke langit. Ibu sejati selalu memgharapkan anaknya kembali meski telah mengembara begitu jauh. Kini butir-butir air itu turun ke bumi,  kembali ke samudera, meski ia telah mengembara ke atmosfir, melintasi cakrawala, maka bumi pun senang datangnya hujan.

Panas matahari memisahkan butiran air dengan laut --- sang ibu. Air menguap meninggalkan samudera, mengumpul, menggumpal di atmosfir. Setelah memadat, tidak bisa ditahan lagi, maka partikel air itu ditumpahkan menjadi tetesan hujan. Hujan turun lebat karena senang untuk bertemu ibunya, ditemani sahabatnya: kilat yang  menerangi angkasa, dan suara guntur menyapa penduduk bumi. "Ibu saya kembali, jangan sedih dan cemas lagi," kata hujan memeluk laut.

Hujan membawa rahmat, air kebutuhan seluruh makhluk hidup, air sumber kehidupan. Burung-burung besenandung, kodok bernyanyi, cacing meliuk gembira, tumbuh-tumbuhan segar menghijau, orang-orang hilik mudik di bawah curahan hujan dengan penuh harap hujan membawa rejeki, karunia yang banyak.

Turunnya hujan bersamaan datangnya rindu kepada orang-orang terkasih. Ibu, bapak, saudara-saudara, kakek nenek, keluarga dekat, yang selalu dikenang. Rindu masa-masa kecil dulu ketika masih bebas bermain, berlari-lari dengan gembira di bawah guyuran hujan deras yang membasahi bumi. Hujan mengirim kabar, angin membawa berita, hawa sejuk hadir pertanda bahagia. Dalam kabut bahagia itu bersembunyi, lewat embun memberi isyarat mereka hadir, melalui tetesan air tercurah kasih sayang. Hujan penuh rahmat, di sanalah kita bertemu --- di dalam pikiran yang penuh kedamaian. Perlahan-lahan hujan berhenti, namun rasa rindu dan kasih itu tidak berhenti... (MAA)***

Makassar, pagi 18 Desember 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

"MOTIVATOR MAKASSAR" - Biodata Dr. M.Anshar Akil, ST, MSi, CPNLP, CHt

Perbedaan LOA Barat dengan LOA Indonesia